Kerajaan Japura
KERAJAAN Japura berasal dari kata ” Gajahpura” berarti gerbang masuk keraton yang berlambang gajah. Keraton Japura adalah ibukota kerajaan Medang Kamulan di sebelah Timur Cirebon, pusat pemerintahan meliputi Desa Japura Kidul, Japura Lor dan Desa Astana Japura di Kecamatan Astana Japura, batas-batasnya meliputi ;
Sebelah Utara Laut Jawa,
Sebelah Selatan Desa Cibogo dan Desa Jatipiring,
Sebelah Barat Desa Mundu Pesisir dan Desa Suci,
Sebelah Timur Desa Gebang
Pemimpinnya yang terkenal adalah AMUK MARUGUL Si Raja Sakti Mandra Guna. Nagari Japura
Nagari ini terletak 17 km sebelah tenggara Giri Amparan Jati, luas wilayahnya meliputi Kecamatan Astana Japura, Sindang Laut, dan Ciledug. Saat ini wilayah ini termasuk Kabupaten Cirebon.
Kartani (2003:3) sangat tertarik untuk mencatat berbagai sumber mengenai asal-usul nama Japura. Japura berasal dari kata ‘ja’ dan ‘pura’. Dalam bahasa Kawi, ‘ja’ itu artinya ‘hidup’. Sedangkan ‘pura’ artinya, ‘depan’, ‘gerbang’, ‘kota’, ‘istana’. Jadi, Japura mengandung pengertian ‘Kota Terdepan’. Kemungkinan besar nama ini juga terkait dengan kota pantai, karena pada saat itu laut adalah jalur transportasi utama.
Japura ada pula yang menyebutkan berasal dari kata ‘jep’ (alat penangkap ikan atau udang) dan ‘pura’. Dari keterangan ini dapat pula disimpulkan serta memperkuat eksistensi Japura sebagai daerah pantai penangkapan dan penghasil ikan yang baik. Pengertian lainnya, Japura merupakan singkatan ‘gajah’ dan ‘pura’, artinya sebuah kota yang pada pintu gerbangnya terdapat ornamen gajah.
Ada pula yang berpendapat, bahwa nama Japura diambil dari tokoh legenda yang bernama Gajah Pura atau Sri Gading yang pernah berperang melawan Gajah Paminggir karena berebut seorang putri.
Pusat nagari ini diperkirakan terletak dalam wilayah Desa Astana Japura Kecamatan Astana Japura Kabupaten Cirebon. Di lokasi tersebut terdapat sebuah sumur yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai sumur keraton Nagari Japura. Jika melihat dari bukti tersebut jarak lokasi pusat pemerintahan Japura dari pantai sekitar 5 km. Namun, pada masa itu, jarak pusat pemerintahan tentu lebih dekat lagi, yaitu sekitar 2,5 km. Perkiraan ini didukung oleh keterangan seorang penduduk di Desa Mundu (Tohadi, 53 tahun), 3 km sebelah barat Astana Japura. la menyatakan bahwa ketika ia mendirikan rumah pada tahun 1942, jarak rumahnya dengan pantai sekitar 50 m. Namun sekarang (1983) jarak pantai dengan rumahnya berubah menjadi sekitar 400 m dan sudah menjadi tambak bandeng miliknya. Apabila kita mengacu pada keterangan itu, posisi pusat pemerintahannya tak jauh beda dengan Singapura atau nagari-nagari pesisir lainnya pada masa itu yang dekat dengan pantai, hingga bisa dipastikan senantiasa terdapat muara sungai untuk pelabuhan perahu-perahu dagang atau nelayan setempat (Sunardjo 1983:22). Menurut Tome Pires (1513), kemampuan Pelabuhan Japura sebanding dengan Muara Jati. Digambarkannya Pelabuhan Japura yang terletak antara Cirebon dan Losari tersebut berpenduduk 2.000 orang, yang tersebar di berbagai dusun (Cortesao 1944:173-183).
Japura diduga sebagai pemukiman tua, karena jauh sebelum dikenal sebagai nagari yang kuat. Kartani (2003:6) menyebutkan ada bukti arkeologis yakni sebuah situs yang berbentuk batu karang sebesar dan setinggi anak kecil oleh masyarakat setempat disebut Bumi Segandu.90 Berdasarkan pendapat para arkeolog, bahwa keberadaan Bumi Segandu merupakan tanda kepurbaan dari lokasi itu dan sekitarnya serta keberadaan dan fungsinya diidentikkan dengan menhir.91
Keberadaan Pelabuhan Japura tidak lepas dari pengelolaan yang baik dari pemimpinnya, yakni Raden Panji Wirajaya Sang Amuk Marugul Sakti Mandraguna.92 Nama ini begitu melekat dan jadi bagian tradisi tutur yang beredar luas di masyarakat Cirebon terutama daerah sekitar Astana Japura. Bagi sebagian orang nama dan gelarnya begitu mencerminkan kharisma, terkesan angker penuh wibawa.
Selain memperhatikan perkembangan pelabuhan, ia pun membangun dan mengembangkan pula sistem pengairan untuk rakyatnya yang bekerja sebagai petani, dengan membangun sebuah dam yang disebut Telaga Maharena Wijaya (NK 1.2:21). Telaga ini diperkirakan adalah Situ Patok yang berada di Kecamatan Astana Japura sekarang. Oleh Pemerintah Belanda, dam ini diperbaiki dan dioptimalkan fungsinya. Selain dari itu, Darma Loka yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuningan, juga diduga dibuat atas prakarsanya.
Jika kita melihat situasi politik kerajaan Galuh Sunda Pakuan pada umumnya, sepeninggal Prabhu Niskala Wastu Kancana yang wafat pada tahun 1475 M dan dikebumikan di Nusa Larang,93 maka naiklah ke dua putranya. Pertama, Sang Haliwungan atau Susuk Tunggal menduduki tahta di Sunda Pakuan, sedangkan anaknya yang kedua, Ningrat Kancana berkuasa di Galuh Pakuan.
Ningrat Kancana naik tahta dengan gelar Dewa Niskala. Tiga tahun setelah menduduki singgasana yaitu 1478 M terjadi peristiwa penting di Pulau Jawa, Kerajaan Majapahit kala itu setelah dilanda pemberontakan dan perang saudara dengan pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Adipati Demak Raden Patah atau Jin Bun, putra Prabhu Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya. Akibatnya banyak petinggi Majapahit yang mengungsi, di antaranya Raden Baribin, saudara seayah Prabhu Kertabhumi.
Beserta keluarganya ia mengungsi hingga sampai ke ibukota kerajaan Galuh Surawisesa (situs Astana Gede Kawali Ciamis).94 Prabhu Dewa Niskala menerima dengan baik Raden Baribin beserta rombongan, bahkan lebih dari itu, putrinya Ratna Ayu Kirana dinikahkan dengan Raden Baribin. Selain itu, salah seorang gadis pengungsi Majapahit ada yang dinikahi oleh Sang Prabhu Dewa Niskala. Padahal menurut hukum yang berlaku pada masa itu, gadis itu berstatus sebagai gadis larangan, karena sudah bertunangan dan belum dibatalkan pertunangannya. Prabhu Susuk Tunggal menjadi murka. Karena dengan tindakan tersebut, jelas-jelas Prabhu Dewa Niskala sudah melanggar adat yang ditabukan oleh keluarga keturunan Prabhu Wangi, yang gugur di Bubat. Mereka bersumpah tidak akan melakukan perjodohan ataupun hubungan kekerabatan dengan Majapahit. Dengan itu, Sang Susuk Tunggal menyatakan putus hubungan kekerabatan, juga hubungan kenegaraan antara Sunda Pakuan dengan Galuh Surawisesa.
Lama-kelamaan ketegangan itu semakin meruncing, sehingga sesepuh kedua pihak yang berseteru berinisiatif untuk mengadakan musyawarah. Musyawarah tersebut menghasilkan sebuah keputusan, yaitu baik Prabhu Susuk Tunggal maupun Prabhu Dewa Niskala harus bersedia turun dari tahta mereka. Sebagai pengganti mereka berdua, maka disepakati Pangeran Jayadewata atau Raden Pamanah Rasa yang naik tahta pada tahun 1482 M.
Dia dinobatkan dua kali pada tahun yang sama. Pertama, ia dinobatkan di Galuh Surawisesa menggantikan ayahnya dengan gelar Prabhu Guru Dewataprana. Kedua, ia menerima tahta dari Prabhu Susuk Tunggal sebagaimana hasil musyawarah para pinisepuh, dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.95 Keputusan tersebut ditengarai menirhbulkan rasa tidak senang Sang Amuk Marugul terhadap Raden Pamanah Rasa yang semakin menjadi-jadi.Yang telah dipersiapkan Sang Prabhu Susuk Tunggal, dengan begitu saja menjadi hak dari Jayadewata.96
Ada kemungkinan terjadi kontak fisik atau peperangan di antara mereka, sebab tercium upaya “pembelotan” dengan memperkuat angkatan bersenjata. Demi pemantapan dan keutuhan kerajaan kiranya pantas hal tersebut dilakukan oleh Pamanah Rasa yang mengemban titah dari para pinisepuh untuk menyelamatkan kerajaan. Sunardjo meyakini peperangan itu terjadi jauh sebelum Pamanah Rasa dinobatkan, yakni pada tahun 1422 M tak lama setelah keduanya bertemu dalam sayembara. Sunardjo meyakini bahwa Japura jatuh dengan gugurnya Amuk Marugul dalam peristiwa tersebut, dan untuk selanjutnya Japura digabungkan dengan Singapura. Jayadewata melakukan aksi tersebut dalam wewenangnya sebagai penguasa Surantaka, Sindang Kasih, sekaligus putra mahkota kerajaan Galuh (Sunardjo 1983:23). Sementara Kartani (2004:3) berpendapat lain, ekses hasil musyawarah tersebut tidak separah itu, tapi adanya ketidakharmonisan keduanya patut diduga menimbulkan percikan api peperangan sangat kuat. Keputusan itu memang berat sebelah, alias kurang adil, namun Amuk Marugul dapat mengarifinya, ia memimpin Japura hingga masa senjanya.
Sebagai pemimpin Nagari Japura, Amuk Marugul meninggalkan banyak jasa yang tak terkira harganya, semisal optimalisasi Pelabuhan Japura, pembangunan Telaga Maharena Wijaya (Waduk Setu Patok), Telaga Darma (Waduk Darma) yang manfaatnya masih dapat dirasakan sampai saat ini.
Kepemimpinan Japura sepeninggal Amuk Marugul digantikan oleh putranya Kyai Ageng atau Ki Gedheng Japura, hasil dari perkawinan Amuk Marugul dengan Nyai Retna Ayu Mayang Sari, putri Ki Ageng Sanggarung Raja Losari. Ki Ageng Japura memiliki putri bernama Nyai Mas Matang Sari, kemudian ia dinikahi oleh Pangeran Panjunan. Dari perkawinan tersebut lahirlah Pangeran Muhamad atau Pangeran Pelakaran.97 Pangeran Muhamad berputra Pangeran Santri yang kemudian menikah dengan Nyai Mas Pucuk Umum dari Sumedang. Inilah cikal bakal kerajaan Sumedang Larang.
Sebelah Utara Laut Jawa,
Sebelah Selatan Desa Cibogo dan Desa Jatipiring,
Sebelah Barat Desa Mundu Pesisir dan Desa Suci,
Sebelah Timur Desa Gebang
Pemimpinnya yang terkenal adalah AMUK MARUGUL Si Raja Sakti Mandra Guna. Nagari Japura
Nagari ini terletak 17 km sebelah tenggara Giri Amparan Jati, luas wilayahnya meliputi Kecamatan Astana Japura, Sindang Laut, dan Ciledug. Saat ini wilayah ini termasuk Kabupaten Cirebon.
Kartani (2003:3) sangat tertarik untuk mencatat berbagai sumber mengenai asal-usul nama Japura. Japura berasal dari kata ‘ja’ dan ‘pura’. Dalam bahasa Kawi, ‘ja’ itu artinya ‘hidup’. Sedangkan ‘pura’ artinya, ‘depan’, ‘gerbang’, ‘kota’, ‘istana’. Jadi, Japura mengandung pengertian ‘Kota Terdepan’. Kemungkinan besar nama ini juga terkait dengan kota pantai, karena pada saat itu laut adalah jalur transportasi utama.
Japura ada pula yang menyebutkan berasal dari kata ‘jep’ (alat penangkap ikan atau udang) dan ‘pura’. Dari keterangan ini dapat pula disimpulkan serta memperkuat eksistensi Japura sebagai daerah pantai penangkapan dan penghasil ikan yang baik. Pengertian lainnya, Japura merupakan singkatan ‘gajah’ dan ‘pura’, artinya sebuah kota yang pada pintu gerbangnya terdapat ornamen gajah.
Ada pula yang berpendapat, bahwa nama Japura diambil dari tokoh legenda yang bernama Gajah Pura atau Sri Gading yang pernah berperang melawan Gajah Paminggir karena berebut seorang putri.
Pusat nagari ini diperkirakan terletak dalam wilayah Desa Astana Japura Kecamatan Astana Japura Kabupaten Cirebon. Di lokasi tersebut terdapat sebuah sumur yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai sumur keraton Nagari Japura. Jika melihat dari bukti tersebut jarak lokasi pusat pemerintahan Japura dari pantai sekitar 5 km. Namun, pada masa itu, jarak pusat pemerintahan tentu lebih dekat lagi, yaitu sekitar 2,5 km. Perkiraan ini didukung oleh keterangan seorang penduduk di Desa Mundu (Tohadi, 53 tahun), 3 km sebelah barat Astana Japura. la menyatakan bahwa ketika ia mendirikan rumah pada tahun 1942, jarak rumahnya dengan pantai sekitar 50 m. Namun sekarang (1983) jarak pantai dengan rumahnya berubah menjadi sekitar 400 m dan sudah menjadi tambak bandeng miliknya. Apabila kita mengacu pada keterangan itu, posisi pusat pemerintahannya tak jauh beda dengan Singapura atau nagari-nagari pesisir lainnya pada masa itu yang dekat dengan pantai, hingga bisa dipastikan senantiasa terdapat muara sungai untuk pelabuhan perahu-perahu dagang atau nelayan setempat (Sunardjo 1983:22). Menurut Tome Pires (1513), kemampuan Pelabuhan Japura sebanding dengan Muara Jati. Digambarkannya Pelabuhan Japura yang terletak antara Cirebon dan Losari tersebut berpenduduk 2.000 orang, yang tersebar di berbagai dusun (Cortesao 1944:173-183).
Japura diduga sebagai pemukiman tua, karena jauh sebelum dikenal sebagai nagari yang kuat. Kartani (2003:6) menyebutkan ada bukti arkeologis yakni sebuah situs yang berbentuk batu karang sebesar dan setinggi anak kecil oleh masyarakat setempat disebut Bumi Segandu.90 Berdasarkan pendapat para arkeolog, bahwa keberadaan Bumi Segandu merupakan tanda kepurbaan dari lokasi itu dan sekitarnya serta keberadaan dan fungsinya diidentikkan dengan menhir.91
Keberadaan Pelabuhan Japura tidak lepas dari pengelolaan yang baik dari pemimpinnya, yakni Raden Panji Wirajaya Sang Amuk Marugul Sakti Mandraguna.92 Nama ini begitu melekat dan jadi bagian tradisi tutur yang beredar luas di masyarakat Cirebon terutama daerah sekitar Astana Japura. Bagi sebagian orang nama dan gelarnya begitu mencerminkan kharisma, terkesan angker penuh wibawa.
Selain memperhatikan perkembangan pelabuhan, ia pun membangun dan mengembangkan pula sistem pengairan untuk rakyatnya yang bekerja sebagai petani, dengan membangun sebuah dam yang disebut Telaga Maharena Wijaya (NK 1.2:21). Telaga ini diperkirakan adalah Situ Patok yang berada di Kecamatan Astana Japura sekarang. Oleh Pemerintah Belanda, dam ini diperbaiki dan dioptimalkan fungsinya. Selain dari itu, Darma Loka yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuningan, juga diduga dibuat atas prakarsanya.
Jika kita melihat situasi politik kerajaan Galuh Sunda Pakuan pada umumnya, sepeninggal Prabhu Niskala Wastu Kancana yang wafat pada tahun 1475 M dan dikebumikan di Nusa Larang,93 maka naiklah ke dua putranya. Pertama, Sang Haliwungan atau Susuk Tunggal menduduki tahta di Sunda Pakuan, sedangkan anaknya yang kedua, Ningrat Kancana berkuasa di Galuh Pakuan.
Ningrat Kancana naik tahta dengan gelar Dewa Niskala. Tiga tahun setelah menduduki singgasana yaitu 1478 M terjadi peristiwa penting di Pulau Jawa, Kerajaan Majapahit kala itu setelah dilanda pemberontakan dan perang saudara dengan pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Adipati Demak Raden Patah atau Jin Bun, putra Prabhu Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya. Akibatnya banyak petinggi Majapahit yang mengungsi, di antaranya Raden Baribin, saudara seayah Prabhu Kertabhumi.
Beserta keluarganya ia mengungsi hingga sampai ke ibukota kerajaan Galuh Surawisesa (situs Astana Gede Kawali Ciamis).94 Prabhu Dewa Niskala menerima dengan baik Raden Baribin beserta rombongan, bahkan lebih dari itu, putrinya Ratna Ayu Kirana dinikahkan dengan Raden Baribin. Selain itu, salah seorang gadis pengungsi Majapahit ada yang dinikahi oleh Sang Prabhu Dewa Niskala. Padahal menurut hukum yang berlaku pada masa itu, gadis itu berstatus sebagai gadis larangan, karena sudah bertunangan dan belum dibatalkan pertunangannya. Prabhu Susuk Tunggal menjadi murka. Karena dengan tindakan tersebut, jelas-jelas Prabhu Dewa Niskala sudah melanggar adat yang ditabukan oleh keluarga keturunan Prabhu Wangi, yang gugur di Bubat. Mereka bersumpah tidak akan melakukan perjodohan ataupun hubungan kekerabatan dengan Majapahit. Dengan itu, Sang Susuk Tunggal menyatakan putus hubungan kekerabatan, juga hubungan kenegaraan antara Sunda Pakuan dengan Galuh Surawisesa.
Lama-kelamaan ketegangan itu semakin meruncing, sehingga sesepuh kedua pihak yang berseteru berinisiatif untuk mengadakan musyawarah. Musyawarah tersebut menghasilkan sebuah keputusan, yaitu baik Prabhu Susuk Tunggal maupun Prabhu Dewa Niskala harus bersedia turun dari tahta mereka. Sebagai pengganti mereka berdua, maka disepakati Pangeran Jayadewata atau Raden Pamanah Rasa yang naik tahta pada tahun 1482 M.
Dia dinobatkan dua kali pada tahun yang sama. Pertama, ia dinobatkan di Galuh Surawisesa menggantikan ayahnya dengan gelar Prabhu Guru Dewataprana. Kedua, ia menerima tahta dari Prabhu Susuk Tunggal sebagaimana hasil musyawarah para pinisepuh, dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.95 Keputusan tersebut ditengarai menirhbulkan rasa tidak senang Sang Amuk Marugul terhadap Raden Pamanah Rasa yang semakin menjadi-jadi.Yang telah dipersiapkan Sang Prabhu Susuk Tunggal, dengan begitu saja menjadi hak dari Jayadewata.96
Ada kemungkinan terjadi kontak fisik atau peperangan di antara mereka, sebab tercium upaya “pembelotan” dengan memperkuat angkatan bersenjata. Demi pemantapan dan keutuhan kerajaan kiranya pantas hal tersebut dilakukan oleh Pamanah Rasa yang mengemban titah dari para pinisepuh untuk menyelamatkan kerajaan. Sunardjo meyakini peperangan itu terjadi jauh sebelum Pamanah Rasa dinobatkan, yakni pada tahun 1422 M tak lama setelah keduanya bertemu dalam sayembara. Sunardjo meyakini bahwa Japura jatuh dengan gugurnya Amuk Marugul dalam peristiwa tersebut, dan untuk selanjutnya Japura digabungkan dengan Singapura. Jayadewata melakukan aksi tersebut dalam wewenangnya sebagai penguasa Surantaka, Sindang Kasih, sekaligus putra mahkota kerajaan Galuh (Sunardjo 1983:23). Sementara Kartani (2004:3) berpendapat lain, ekses hasil musyawarah tersebut tidak separah itu, tapi adanya ketidakharmonisan keduanya patut diduga menimbulkan percikan api peperangan sangat kuat. Keputusan itu memang berat sebelah, alias kurang adil, namun Amuk Marugul dapat mengarifinya, ia memimpin Japura hingga masa senjanya.
Sebagai pemimpin Nagari Japura, Amuk Marugul meninggalkan banyak jasa yang tak terkira harganya, semisal optimalisasi Pelabuhan Japura, pembangunan Telaga Maharena Wijaya (Waduk Setu Patok), Telaga Darma (Waduk Darma) yang manfaatnya masih dapat dirasakan sampai saat ini.
Kepemimpinan Japura sepeninggal Amuk Marugul digantikan oleh putranya Kyai Ageng atau Ki Gedheng Japura, hasil dari perkawinan Amuk Marugul dengan Nyai Retna Ayu Mayang Sari, putri Ki Ageng Sanggarung Raja Losari. Ki Ageng Japura memiliki putri bernama Nyai Mas Matang Sari, kemudian ia dinikahi oleh Pangeran Panjunan. Dari perkawinan tersebut lahirlah Pangeran Muhamad atau Pangeran Pelakaran.97 Pangeran Muhamad berputra Pangeran Santri yang kemudian menikah dengan Nyai Mas Pucuk Umum dari Sumedang. Inilah cikal bakal kerajaan Sumedang Larang.
Kq di serial kian santan, amuk marogol jd tokoh yg antagonis dan jahat ya? Apkh seperti itu
BalasHapusItu di improvisasi , Aslinya dia cuma menentang Kerajaan Padjajaran & Siliwangi. Tapi gak seantagonis di tv , ditambah malah ada orang bisa ngilang sesakti"nya orang jago silat minimal cuma kebal sama bisa parkour kecuali mereka bersekutu sama jin. Sumpah gua gede banget tuh sama film merubah-rubah sejarah.
HapusIzin copas bro
BalasHapus